Oleh Djohermansyah Djohan | _Guru Besar IPDN, Dirjen Otda Kemendagri (2010-2014), Pendiri i-OTDA
OTONOMI daerah adalah tugas pemerintahan yang luas untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan demokrasi di seluruh pelosok nagari. Ia tidak hanya perkara Ibu Kota Negara (IKN) baru dan IKN lama, atau menata kota-kota yang tahun 2035 bakal dihuni oleh dua per tiga penduduk Indonesia, atau menyelesaikan konflik pusat vs daerah yang berlarut-larut di Papua. Bahkan, juga bukan sekedar menaikkan gaji kepala desa dan meningkatkan jumlah dana desa dari satu miliar menjadi lima miliar per desa.
Otonomi daerah spektrumnya terbentang mulai dari pembentukan daerah otonom, transfer kewenangan dari pusat kepada daerah, pembentukan kelembagaan pemda, manajemen birokrasi lokal, pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah, pengelolaan keuangan daerah, hubungan antar pemerintahan, hingga pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan pemerintah desa.
Selain tugasnya yang amat luas, otonomi daerah merupakan “big business”. Bila pemerintah bisa mengurusnya dengan baik separuh urusan negara akan selesai. Presiden bisa fokus ke separuh urusan lainnya, yaitu memimpin kementerian/lembaga yang menangani urusan pembangunan sektoral, menjalin hubungan baik dengan lembaga tinggi negara, dan tampil di panggung regional dan global. Ia tak perlu lagi marah-marah kepada kepala daerah atau berlelah-lelah mengumpulkan ribuan kepala desa.
Betapa tidak? Tengok saja jumlah daerah otonom yang menembus angka lima ratus tepatnya 546 yang terdiri atas 38 provinsi, 93 kota, dan 415 kabupaten. Kewenangan yang dimilikinya juga bukan “kaleng-kaleng”. Mulai dari urusan pendidikan dasar dan menengah, kesehatan, jalan dan jembatan, perumahan, tenaga kerja, perindustrian dan perdagangan, pertanian, kelautan dan perikanan, hingga kepariwisataan. Tak kurang dari 32 urusan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah.
Ditilik dari segi birokrasi, dari 4,28 juta ASN kita 3,33 juta bekerja untuk pemerintah daerah (78%). Belum lagi uang yang dikelolanya. Rata-rata sepertiga dari APBN kita ditransfer ke daerah. Pada tahun 2023 yang lalu jumlahnya Rp.825 triliun. Bila ditambahkan dengan pendapatan asli daerah (PAD) provinsi, kabupaten, dan kota se Indonesia yang besarnya Rp.361 triliun pada tahun 2023, maka sekitar Rp1.186 triliun dibelanjakan oleh pemerintahan daerah. Suatu jumlah yang sangat besar, dan bila dibelanjakan secara berkualitas akan mampu mendongkrak beberapa persen pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Secara legal-konstitusional UUD 1945 sendiri mengatur cukup detil sampai dengan membuat bab khusus soal pemerintahan daerah, seperti tampak dalam pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B. Turunannya mencakup UU Pemda, UU Pilkada, dan UU Desa plus UU khusus/istimewa untuk Papua, Aceh, Yogyakarta, DKI Jakarta, IKN Nusantara.
*Masalah Otonomi Daerah*
Kondisi otonomi daerah kita kini terus terang sedang tidak baik-baik saja. Beberapa diantaranya yang menonjol adalah masalah re-sentralisasi, korupsi kepala daerah, politik dinasti, pecah kongsi KDH-WKDH, pemekaran daerah, dan tidak efektifnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Sayang sekali bila pada masa kampanye sekarang segudang persoalan otonomi daerah yang melanda negeri ini tidak diperdebatkan oleh para calon presiden dalam kampanyenya. Masyarakat di 546 daerah otonom itu tentu akan suka memilih calon presiden yang paham dan pro-otonomi daerah, bukannya pro-sentralisasi.
Re-sentralisasi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo makin menjadi-jadi. Tak hanya di bidang administrasi dan ekonomi seperti penarikan berbagai perizinan dan kewenangan berskala lokal ke pusat, tapi juga sudah merambah ke ranah politik. UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 yang menarik izin IMB dan UU Minerba Nomor 3/2020 yang mengambil tambang galian C (pasir dan kerikil) ke pusat adalah contoh nyata dalam resentralisasi administrasi dan resentralisasi ekonomi.
Sedangkan terkait resentralisasi politik, pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah bila terjadi kekosongan (vacuum of power) jabatan dalam tempo yang lama dilakukan langsung oleh presiden, bukannya lewat pemilihan DPRD atau perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang notabene dipilih langsung oleh rakyat. Malahan dalam pasal 10 RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ), gubernur/wakil gubernur diangkat oleh presiden tak lagi dipilih langsung oleh rakyat menyusul pola pengangkatan kepala/wakil kepala IKN Nusantara. Demokrasi lokal lewat pilkada langsung yang sejak tahun 2004 telah ditancapkan (deepening democracy), kini dipreteli.
Korupsi kepala daerah tak kunjung reda. Terbaru, ada Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada, sebelumnya Gubernur Maluku Utara dua periode yang sudah mau habis masa jabatannya di OTT KPK. Modus operandinya hampir sama dengan kepala daerah yang lain, yaitu terlibat kasus jual beli jabatan, gratifikasi dan suap pengadaan barang dan jasa. Saya mencatat sejak pilkada langsung yang berbiaya tinggi digelar tahun 2005 hingga 2024 ini terdapat 405 orang kepala daerah/wakil kepala daerah kena kasus hukum dengan rincian, gubernur 37, wakil gubernur 7, bupati 228, wakil bupati 48, walikota 70, wakil walikota 15. Korupsi yang dilakukan oleh ratusan pemimpin pemda ini juga telah menyeret ribuan pejabat birokrasi, berdampak pada rusaknya tata kelola pemda yang baik, dan terhalangnya pengentasan kemiskinan.
Rentetan lainnya, tumbuh subur politik dinasti di daerah, di mana anak atau istri kepala daerah/wakil kepala daerah naik menggantikan sang bapak/suami. Bahkan menjalar kini ke tingkat pemerintahan nasional. Gibran putra Presiden Joko Widodo yang baru menjabat walikota solo dua tahun diorbitkan menjadi calon wakil presiden. Sirkulasi kepemimpinan pemda menjadi mandeg, karena jabatan hanya beredar di lingkaran “trah” tertentu saja.
Perkara serius lainnya politisasi birokrasi pemda waktu pilkada yang menyebabkan promosi jabatan penuh dengan afiliasi politik (Prasojo, 2023). Belum lagi kalau ditelisik soal maraknya pecah kongsi kepala daerah dan wakilnya yang menurut catatan saya terjadi di lebih dari 90% daerah kita. Tentu hal ini merupakan pendidikan politik yang buruk bagi rakyat, dan membuat repotnya birokrasi melayani kedua bosnya yang tak akur.
Pemekaran daerah telah 10 tahun dimoratorium, kecuali untuk tanah Papua yang tahun lalu diizinkan memekarkan provinsinya dari dua menjadi enam, karena alasan untuk mengendalikan konflik. Sementara itu usulan pemekaran daerah tak pernah berhenti. Pemerintah menerima tidak kurang dari 329 usulan pembentukan daerah otonom baru (DOB) yang terdiri atas 55 provinsi, 237 kabupaten, dan 37 kota (Ditjen OTDA Kemendagri, Mei 2022). Terlepas dari terpenuhinya atau tidak persyaratan, fenomena ini menunjukkan bahwa aspirasi untuk membentuk DOB belum padam. Sejak awal reformasi tahun 1999 sampai moratorium 2014, Indonesia telah menambah daerah otonomnya sebanyak 223 (8 provinsi, 181 kabupaten, 34 kota). Banyak masyarakat meyakini pemekaran daerah merupakan pintu masuk untuk meraih kesejahteraan. Tak elok kalau dibiarkan mengambang tak ada kepastian.
Gubernur selaku wakil pemerintah pusat (GWPP) tak efektif. Pembinaan dan pengawasannya “dicuekin” bupati/walikota. Tak jarang bupati/walikota berani melawan gubernur secara terbuka, menolak dikoordinasikan dan disupervisi, dan mengusirnya jika berkunjung ke wilayahnya. Pihak kementerian/lembagapun kerap mem-by pass gubernur dengan terjun langsung ke kabupaten/kota. Anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang terdiri atas unsur kepala kepolisian, kepala kejaksaan, komandan TNI, dan ketua DPRD tak banyak lagi yang menyegani gubernur, padahal ia menjadi ketua forumnya.
Pemerintah pusat tak pula menyediakan perangkat dan pembiayaan kepada gubernur untuk melaksanakan tugas perpanjangan tangan (verlengstuk) itu. Masalahnya diperparah dengan tak adanya peran gubernur dalam menjadikan seseorang sebagai bupati/walikota. Mereka sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Bahkan, ada bupati/walikota yang jadi penantang gubernur petahana dalam pilkada.
Pola relasi ala integrated-prefektoral system ini, dimana gubernur berperan ganda sebagai kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat tidak menyambung dengan perkembangan demokrasi lokal kita kini. Dari bentangan beberapa masalah utama otonomi daerah di atas, tentu publik ingin tahu bagaimana calon presiden dan wakil presiden nomor satu, dua, dan tiga memandang atau menjawabnya di dalam visi dan misi mereka.
*Janji Para Kandidat*
Pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor satu Anies dan Gus Imin dalam visinya yang berjudul “Indonesia Adil dan Makmur Untuk Semua”, pada misi ke delapan mengagendakan pembenahan otonomi daerah. Dijanjikan akan diakhiri tarik-menarik kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah, diberi ruang bagi daerah untuk mengelola potensi kekayaan yang dimiliki, perbaikan pembiayaan pilkada agar tidak mahal, pencegahan politisasi birokrasi, memfasilitasi pembentukan daerah otonom secara selektif, dan penguatan pembinaan dan pengawasan pemerintah pusat terhadap pemda terkait kewenangan yang dilimpahkan.
Selain itu, sistem pelayanan publik yang cepat, mudah dan murah dalam pemenuhan urusan konkuren wajib pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan akan dihadirkan. Slepetan pasangan ini cukup mengena, hanya kelemahannya publik tidak tahu secara detil bagaimana cara mereka mewujudkannya.
Prabowo dan Gibran mengusung visi “Bersama Indonesia Maju, Menuju Indonesia Emas 2045”. Pasangan ini menjanjikan akan membangun dari desa dan dari bawah untuk pemberantasan kemiskinan seperti membangun atau merenovasi rumah penduduk desa, membuat desa terakses internet, dan memperbaiki tata kelola dana desa.
Selain itu juga memperbaiki jalan daerah yang tidak mampu ditangani oleh pemda, menata desentralisasi dan otonomi daerah untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemda, memperbaiki manajemen pelaksanaan pilkada, revitalisasi pengawasan melalui pembangunan inspektorat independen, dan membahas kembali pemekaran daerah. Misi penanganan otonomi daerah lewat “joget kebijakan” dari pasangan ini dapat membuai orang desa dan daerah bila tersosialisasi secara luas.
Visi Ganjar dan Mahfud yaitu “Menuju Indonesia Unggul Gerak Cepat, Mewujudkan Negara Maritim yang Adil dan Lestari”. Pasangan nomor urut tiga ini menjanjikan akan melipatgandakan dana desa, satu desa satu fasilitas kesehatan, menjanjikan kota sebagai sentra pertumbuhan, ekonomi yang dapat mendorong desa tumbuh bersama, memperluas ketersediaan mall pelayanan publik, dan memastikan pelayanan pemerintahan sat set dengan digitalisasi. Kendatipun tak terlalu telak mengadres persoalan aktual otonomi daerah, karena lebih fokus ke perkara desa, tapi misi mereka menunjukkan keinginan untuk mempercepat pembangunan desa dan kota.
Dalam agenda ketiga pasangan Capres dan Cawapres tampak ada sentuhan untuk menyelepet, menjoget dan men-sat-set persoalan otonomi daerah meskipun kadarnya berbeda beda. Artinya, mereka cukup menyadari bahwa diperlukan penataan desentralisasi di Indonesia ke depan.
Guna menggali bagaimana detil mewujudkannya dan manakah pasangan calon yang paling perhatian terhadap otonomi daerah, urgen sekali jika dalam tema debat Capres atau Cawapres yang akan datang ditambahkan isu otonomi daerah.
Jangan sampai terulang kasus IKN Nusantara yang tidak muncul dalam visi dan misi maupun debat pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin tahun 2019 lalu, tiba-tiba lahir menjadi kebijakan yang membebani berat keuangan negara. (*)